2009/02/16
Pria Kecil, Permen Kuning dalam Toples Kaca, dan Segelas Air
2009/02/07
Religia
(Seorang Wanita di Kursi Roda)
DULU hujan selalu membuatku berjarak dengannya. Karena aku tak bisa melihat secara jelas sosoknya yang kabur di balik jendela berembun. Bertahun-tahun hujan selalu akan membuatku berjarak dengannya. Mengamatinya merentangkan tangan di kejauhan, sementara aku menggenggam gelas gin berisi soda susu. Aku sering berkata kepadanya, bahwa aku tak punya siapa-siapa dalam hidupku. Tanpa kusadari, bahwa aku selalu memilikinya untuk mendengarkanku bercerita. Andai ia tahu, ia membuatku sering merasa kosong. Seperti yang acap ia dengar, bahwa aku benci keterikatan. Keadaan terikat yang tak impas membuat ruang menjadi terlihat terlalu luas dan jarak merentang semakin jauh. Karena ia selalu membuatku berpikir; bagaimana seandainya jika aku kehilangannya atau ia kehilanganku?
(Pria yang Mendorong Kursi Roda)
SORE itu hujan, aku mendorong kursi rodanya, entah menuju ke mana. Dia bersikeras memintaku meninggalkannya sendiri di kamar yang pengap oleh bau obat atau membiarkan suster jaga mengajaknya jalan-jalan berkeliling. Kubilang aku tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa sepengetahuanku.
“Aku ingin makan bubur,” ujarnya. Sementara dia membiarkan senampan makanan dari rumah sakit di meja di sebelah ranjang tak tersentuh.
Sepanjang perjalanan menuju kafetaria, kami melihat banyak burung gereja di langit. “Besok aku akan menjadi salah satunya.” Begitulah dia selalu percaya orang-orang mati akan bermanifestasi terlebih dulu menjadi hewan sebelum terlahir kembali.
“Aku ingat kata-kata ayahku, tentang bagaimana dia sampai harus kehilangan ibuku hanya untuk melahirkanku.”
Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas di pikiranku, semua kenangan tentang kebersamaan kami berputar di dalam orbitalnya, tereksitasi satu per satu di dalam tempurung kepalaku, semakin kehilangan energi tiap kali kusadari aku akan kehilangannya sebentar lagi.
“Mungkin sebelum mati, malaikat surga bertanya kepadanya. Antara dia memilih untuk terus hidup dan membiarkanku mati, atau dia mati untuk membiarkanku terus hidup.”
Mendorong kursi rodanya saat dia sedang merasa kehilangan semangat hidup, membuatku kehilangan daya gerakku sama sekali.
“Dan nyatanya ibuku memilih mati.”
Beratnya sudah turun sebanyak dua puluh kilogram selama setahun dia menjalani kemoterapi. Usianya baru dua puluh satu tahun, dan dia menderita kanker otak. Tumor di otak tidak membuatnya kehilangan daya pikir atau menurunkan kecerdasannya. Bahkan setiap hari semenjak dia dirawat inap di rumah sakit, dengan banyak jenis buku yang dia baca, aku selalu berfirasat seolah suatu saat dia akan mengalahkanku dalam banyak hal.
Sebelumnya dia selalu kalah pada diskusi tentang apa pun yang kusukai, dan aku selalu seimbang tiap kali diajaknya berdebat tentang hal-hal yang dia sukai. Kami membicarakan tentang kecerdasan artifisial, kemungkinan penyebab kiamat, kadang aku membicarakan tentang ilmuwan Matematika, dan dia membahas mengenai kesamaan mereka dengan tokoh-tokoh Psikologi. Mengingat momen-momen itu, aku tahu dia tidak akan tergantikan.
“Ibumu memberimu hidup selama dua puluh tahun,” kataku, “yang mungkin dia tidak yakin apakah dia akan membutuhkan seperempat dari waktunya itu untuk terus menantikan seorang putri sepertimu.”
Ibunya melahirkannya di usia empat puluh tahun, dan sebagaimana umumnya wanita pra-menopause, mereka akan kehilangan kesuburan menjelang usia empat puluh lima. Aku yakin, saat itu ibunya pasti tidak mau membuang-buang waktu untuk menunggu lagi.
“Seandainya dia tahu putrinya tidak akan berumur panjang,” dia menjawab, “apa mungkin dia mau mengorbankan nyawa?”
“Manusia tidak pernah tahu,” sejenak aku terdiam, “… tentang keajaiban apa yang akan Tuhan beri di sepanjang perjalanan hidupnya. Kupikir dia hanya mencoba mengambil risiko dan bertaruh dengan keniscayaan.”
Dia menarik napas. Sepanjang perjalanan selanjutnya kami membeku dalam diam.
Tulisan Terdahulu
-
Pada 2022, Sekolah Pemikiran Perempuan membuka ruang belajar informal bagi para perempuan yang berkecimpung di bidang seni dan budaya. Kela...
-
Untuk Rio Johan . Saat aku menunggu jadwal penerbanganku di bandara, jasad seorang kawan di kampus yang juga tinggal satu ind...
-
Menyelesaikannya dalam 5 hari. Bahkan sesungguhnya tidak berniat menyelesaikannya dan justru ingin membuat alur kisahnya yang sudah terlan...
-
Ingatan tentang ibu sebagai seorang filatelis yang menyimpan setiap edisi perangko terbitan Perum Pos (PT Pos Indonesia), yang sialnya leb...
-
Apa hidup memang... seperti, cerita tentang sebuah pohon yang tumbuh di suatu tempat asing? Bahwa yang mengetahui keberadaan pohon itu hanya...