Aku selalu bilang kepadanya kalau ia terlalu berani memilih warna-warna
terang, namun ia selalu mengoceh tiap aku berkomentar. Bahwa aku pengamat sekadar,
begitu caranya menunjukkan kekesalannya akan kesoktahuanku.
Benar saja, aku selalu melihat hidupnya yang gelap yang meski demikian
kuakui bisa dilaluinya dengan susah payah, dan kubandingkan dengan lukisannya
yang selalu bercorak abstrak dengan warna-warni seperti pelangi. Jauh berbeda.
Dan ia selalu mengoceh kalau aku berani berkomentar. Katanya aku hanya
pikiran, yang selalu berkata salah tiap ia bilang benar. Aku hanya setan yang
mampir di sebelah kirinya dan beradu pendapat dengan malaikat bersayap di sisi
kanannya.
“Apa arti lukisan ini?”
Ah, turis-turis bodoh selalu menanyakan itu tiap mampir ke galeri, yang
lebih bodoh, ia akan tersenyum tawar dan menjawab dengan berlagak sok
karismatik.
Pelukis miskin selalu begitu, mengiba dengan senyuman dan tuturan kata
manis di depan pelanggan yang mungkin menimang berjuta dolar dalam tas mereka
yang bermerek mahal.
Aku sudah bilang lukisannya jelek. Sudah kubilang warna-warnanya terlalu
terang dan membuat mataku perih. Sudah kubilang seharusnya ia membeli akrilik
yang lebih mahal untuk mewarnai kubik-kubik aneh yang ia bentuk di kanvas itu.
“Kenapa mengambil aliran seperti ini?”
Pengamat
lukisan yang sok pintar biasa bergumam seperti itu, biasanya mereka berkaca
mata dan bertopi bulat berukuran terlampau
kecil untuk kepala mereka dengan warna
gelap, rambut mereka sudah beruban dengan wajah yang nampak jelas terlihat seolah dipaksakan bijaksana.
Untuk orang-orang itu, lagi-lagi ia akan memelas pujian. Dari kakek-kakek
renta seperti itu. Ia akan merayu mereka dengan jalan mengatakan bahwa
nama-nama besar luar negerilah yang menginspirasi lukisan-lukisan yang ia
garap. Cih, geli aku dibuatnya, ia toh terlalu miskin untuk tahu sejarah seni
di negeri barat.
Dan ia pergi ke sana kemari, lalu-lalang seolah menjadi makhluk paling
penting ketika ada bule yang bertandang. Aku diajaknya ikut, menyumpah-serapah
padanya tiap ia tidak mendengar racauanku.
Sejak dulu ia tak pernah mendengarkan pendapatku. Sudah kubilang, dulu
sewaktu lulus SMP, ia tidak harus masuk SMK supaya bisa langsung bekerja. Ia
bisa saja langsung melanjutkan pendidikan ke SMA, agar ia bisa menjadi dokter
seperti si Adit temannya yang bodoh yang anak gubernur itu. Tapi ia bersikeras
menyahutiku dengan keras bahwa orang tuanya miskin, karenanya ia mana punya
uang untuk melanjutkan sekolah tinggi-tinggi.
Sudah kubilang ia bisa mengambil bantuan saja dari Pak Lurah, ia pintar
karena bisa jadi lima besar di kelas. Tapi ia bilang bantuan pemerintah
semuanya tipuan, seperti negeri maya di dalam dongeng-dongeng.