SEBUAH jendela
dan seorang lelaki hujan, begitu saya menamai suasana di luar rumah di musim
hujan pagi itu. Seorang pria berdiri tegap, memandang lurus ke rumah di
seberang, mematung dan memegang gitar. Saya terlalu gentar untuk memintanya
memandang ke lain arah dan saya biarkan diri saya terus memandang punggungnya,
bahunya yang lebar, dan rambutnya yang basah.
Setahu saya, tidak
pernah ada kupu-kupu di musim hujan, mereka berdiam entah di mana, bersembunyi
yang seolah terasa untuk selamanya. Kupu-kupu adalah lambang jiwa yang tak
pernah mati, begitu ibu saya selalu bercerita, yang selalu mengisahkan tentang
romantika Sam Pek Eng Tay.
Sama seperti yang saya lihat dari sosok lelaki hujan itu, jiwa pecinta yang
abadi menanti sang pujaan hati. Seharusnya dia tidak berdiri di bawah hujan,
seharusnya dia berlindung pada selimut yang hangat.
Dan kemudian, aura musik
mengalun, lelaki hujan itu memainkan gitarnya, dan saya melangkah ke seberang
ruangan untuk mengambil harmonika, meninggalkan jendela yang tak kunjung saya
tutup. Saya selalu menikmati rintik hujan yang masuk, mendengar rintih pada
tiap tetes air yang menyentuh permukaan jendela.
Dan setelah itu, kami
memainkan lagu kami.
Perlahan dia menoleh ke
arah saya, menatap saya dengan pandangan seolah dia telah pulang ke rumah. Saya
berlari keluar dan memegang payung di tangan.
“Selalu ada rahasia di
antara kita,” ucap saya sembari memayunginya.
Dia menatap saya, “Sudah
berapa lama semenjak saat itu?”
“Tujuh tahun atau
kurang.” Saya tersenyum dan meraih tangannya, “Aku selalu melihatmu di depan
rumahku, mungkin menangis di bawah hujan?”
“Apa kabarmu?” Ia menggenggam tangan saya erat tanpa menjawab
pertanyaan saya.
“Sama seperti dulu. Apa
kabarmu?”
Ia mengulum senyum, “Aku tak sempat menyatakan cinta.”
KEPADA gadis putih di sebuah
rumah besar berarsitektur kuno Prancis, pasti kepadanya. Dan saya
kembali terpaku seperti tujuh tahun lalu; dengan berat hati mencoba memahaminya
seperti dulu, “Kamu masih mencintai gadis itu?”
Ia tersenyum, “Aku
beruntung karena mencintainya. Dan beruntung memendam perasaanku kepadanya.”
“Kenapa memendamnya?”
tanya saya bingung.
“Apa ada alasan untuk
mencintai seseorang?” Ia balik bertanya. “Aku tak mampu memberikan alasan
kepadanya kenapa aku bisa mencintainya. Lalu, bagaimana bisa aku berbesar hati
mengungkapkan sesuatu yang aku tak tahu dari mana datangnya?”
Saya
tertegun, apakah perlu sebuah alasan untuk mencintai seseorang? Itu
pertanyaan yang selalu hinggap di benak saya.
“Kamu benar-benar tidak
tahu apa alasanmu mencintainya?”
“Apakah harus ada
alasan?”
Saya menatap ke seberang
tempat kami berdiri, sebuah pagar tinggi bercat hijau yang semakin luntur
bersama waktu. Sebuah rumah besar bercat putih.
“Pulanglah, bawa payung
ini.” ucap saya seraya berlari ke arah pagar tinggi itu, berusaha menemui gadis
yang dicintai oleh sang lelaki hujan, sahabat kecil saya yang kini dewasa.
Ia menarik tangan saya. “Apa yang mau kamu lakukan?” tanyanya.
“Mengatakan kepadanya kalau kamu mencintainya. Iya, kan?”
“Kenapa?” Ia bertanya; yang saya tak mengerti untuk apa.
“Karena kamu
mencintainya. Kamu harus mengungkapkannya,” ujar saya lemah.
“Kenapa ada sinar cinta
di matamu?” Ia melanjutkan pertanyaannya.
Air mata saya mengalir
menjadi satu dengan hujan yang turun dengan derasnya.
“Kenapa tak pernah aku
lihat di matamu?” Saya balik bertanya dan ia terdiam. Saya hanya bisa
menatap ke sebuah pohon di balik tubuhnya.
SEORANG gadis
duduk bergelantungan di atas pohon di pekarangan rumah, di sana gadis itu
meniup harmonikanya, menyanyikan entah lagu apa. Di sebelahnya ikut duduk
seorang lelaki, ikut menyanyikan sebuah lagu yang entah lagu apa.
Kemudian seorang gadis
kecil keluar dari dalam sebuah rumah. Rambutnya terjalin rapi dan dia
mengenakan gaun berenda berwarna merah jambu, wajahnya putih pualam berpancaran
bak jambu yang memerah, dan dia membawa sebuah biola bersamanya. Dia berjalan
mengikuti seorang wanita berusia setengah baya di depannya, berjalan angkuh
menuju sebuah mobil. Riasannya begitu mewah dengan seuntai kalung mutiara dan
gaun hitam mahal.
“Eureka.” Begitu
lelaki di sebelahnya bergumam saat itu. Dan lagu mereka terhenti.
HANYA hubungan persahabatan
yang takkan pernah putus. Itu filosofi yang selalu kami pegang sejak kecil. Dan
kami pantang untuk jatuh cinta satu sama lain.
“Bukankah kita sahabat?” Dan begitu caranya menjawab pertanyaan saya hari itu. Membuyarkan lamunan saya sepenuhnya.
Saya hanya bisa
tersenyum, “Ya kita sahabat, dan aku ingin kamu bahagia bersamanya.”
Saya tak menyesal
menjawab begitu. Tepat saat itu, ia melangkah menuju pagar hijau di hadapan
kami. Beberapa saat kemudian pagar itu terbuka,
dibukakan oleh gadis putih yang ia nanti selama ini. Sahabat saya itu pasti
bisa menyatakan cintanya kali ini.
Sahabat saya akan
menyambut kehidupan barunya bersama gadis itu dan saya menyadari bahwa saya
takkan pernah bisa memilikinya. Takkan ada harapan lain lagi karena
dia takkan pernah bisa jatuh cinta kepada saya. [*]
Di bawah hujan,
27/10/2008 13:18:27 WITA
Cukup manis mi..
ReplyDeletemaav sebelumnya, berhubung aku amatir, jangan percaya2 banget yah.
ReplyDeletehehhehehe.
ada sesuatu yg kurang nih.
kayaknya sedikit keluar dari gaya kamu.
kayak ngebaca cerita bukan bikinan kamu.
tapi aku ga tau apa yang kurang.
*dengan bodohnya*
alurnya jg terlalu cepet.
mgnkn karena aku baru ngikutin kisah anak2 hujan kali yaaaa.
heuh,,
mestinya kalian terbuka sama aku.
aku kan induk semang kalian.
*hahahahah! dudul banget akunya*
Sama sekali ngga sederhana.
ReplyDeletesimpel tapi kompleks.
memainkan perasaan saia.
(koq berasa saia banged gitu? apa ini cerita nyata Mi atau??)
.
ah, Mi..
entah kenapa saia merasa, selama ini saia selalu menjadi si panah hujan.
yang sama saja dengan lelaki hujan --tak bisa menyatakan cinta.
.
ah, Mi..
cara kamu mengiris hati manis sekali. *ngmg apa sih saia*
trus, apa saia haru bilang pada mereka --orang2 yg pernah jd 'gadis putih' saia, hanya mereka lelaki.
.
kalau benar saia mampu menyatakannya.
pertama kali saia akan bilang pada sunny. :D
makasih yah Mi..
.
Love u xo xo xo. mmuaach..hehee
Hmmm...mmmmhh.. Lumer saya, mii...
ReplyDeleteImprovisasi yang luar biasa. Dari sebuah mimpi seorang anak biasa seperti saya, kamu bisa mengungkapkannya dengan kata yang indah.
Salut, mimiii.. !
salut aja deh buat cerpennya. jadi pengen nulis cepren juga. hehehe..
ReplyDeleteaziiiiip, ajarin dong bikin ginian...mauuuuu'
ReplyDelete@ dimas rafky, thank u so much, bro.. saya emang manis =) hahaha..
ReplyDelete@ sist anin, wuihh ngatain dirinya amatir, jangan merendah gitu dong, sist ^^ tulisan sist juga bagus-bagus... :)
@ sist tyara aka. gadis putih, yep yep, it's especially for u, sist.. love u so so.. =)
@ kak irfan aka. lelaki hujan, tulisan kakak jauuuh lebih bagus dari ini, maaf kalo mengecewakan :P
@ roe, hayoo hayoo mulai tulis cerpen, langsung ambil spesialisasi politik aja, Roe.. hahahaah!
@ awan, boleh boleh ^^ sejamnya bayar 50ribu yah.. seminggu dijamin langsung jago.. kalo jadi, PM aja YM id saya.. hahahaha..
$____$
sumpah deh adek satu ini makin jago aja melakukan irisan yang tepat dan terarah pada jantung dan kemudian ninggalin begitu saja pertanyaan di kepala
ReplyDeletesumpah, jadi pengen nulis lagi
makasih ya . . .!!! uda ucapin met ultah buat mama aQuh. dapet salam dari mama tuh,
ReplyDelete@ kagendra,
ReplyDeleteini masih standar penulis amatir aja, bos.. seneng banget dapet pujian seperti itu, je ;;)
seneng juga kakak bisa dapet inspirasi dari sini (kegeeran nih kayaknya) ;)
semangat nulis, yah, bro!
@ jaeya, I can't open ur page, dear.. :(
anyway, Tante baiiik sekalii..
ada tart yang sisa untuk saya? ;;)
saya penggemar tart lho, Auntie..
haahahaha.. jeeee.. *....
karena kamu mencintainya, kamu harus mengatakannya..
ReplyDeletehmm...gak semudah itu, nak
apalagi kalo buat seorang cewek. susah menyatakan cinta lebih dulu.