SEBUAH jendela
dan seorang lelaki hujan, begitu saya menamai suasana di luar rumah di musim
hujan pagi itu. Seorang pria berdiri tegap, memandang lurus ke rumah di
seberang, mematung dan memegang gitar. Saya terlalu gentar untuk memintanya
memandang ke lain arah dan saya biarkan diri saya terus memandang punggungnya,
bahunya yang lebar, dan rambutnya yang basah.
Setahu saya, tidak
pernah ada kupu-kupu di musim hujan, mereka berdiam entah di mana, bersembunyi
yang seolah terasa untuk selamanya. Kupu-kupu adalah lambang jiwa yang tak
pernah mati, begitu ibu saya selalu bercerita, yang selalu mengisahkan tentang
romantika Sam Pek Eng Tay.
Sama seperti yang saya lihat dari sosok lelaki hujan itu, jiwa pecinta yang
abadi menanti sang pujaan hati. Seharusnya dia tidak berdiri di bawah hujan,
seharusnya dia berlindung pada selimut yang hangat.
Dan kemudian, aura musik
mengalun, lelaki hujan itu memainkan gitarnya, dan saya melangkah ke seberang
ruangan untuk mengambil harmonika, meninggalkan jendela yang tak kunjung saya
tutup. Saya selalu menikmati rintik hujan yang masuk, mendengar rintih pada
tiap tetes air yang menyentuh permukaan jendela.
Dan setelah itu, kami
memainkan lagu kami.
Perlahan dia menoleh ke
arah saya, menatap saya dengan pandangan seolah dia telah pulang ke rumah. Saya
berlari keluar dan memegang payung di tangan.
“Selalu ada rahasia di
antara kita,” ucap saya sembari memayunginya.
Dia menatap saya, “Sudah
berapa lama semenjak saat itu?”
“Tujuh tahun atau
kurang.” Saya tersenyum dan meraih tangannya, “Aku selalu melihatmu di depan
rumahku, mungkin menangis di bawah hujan?”
“Apa kabarmu?” Ia menggenggam tangan saya erat tanpa menjawab
pertanyaan saya.
“Sama seperti dulu. Apa
kabarmu?”
Ia mengulum senyum, “Aku tak sempat menyatakan cinta.”